H. Akbar
Komunitas Pecinta Sedekah
Yayasan Arrafiiyah
Suatu
saat Gubernur Mesir Amru bin Al-‘Ash melapor kepada Khalifah ‘Umar bin
Khattab bahwa dia telah membangun sebuah rumah khusus untuk Khalifah
bila berkunjung ke Mesir, letaknya di sebelah masjid terbesar yang sudah
dibangun terlebih dahulu. Umar bukannya senang dengan hal ini, malah
menjawab dengan sangat tajam; “Untuk apa engkau bikinkan aku rumah di Mesir sedangkan aku tinggal di Hijaz?. Ubah rumah itu menjadi pasar bagi kaum muslimin.” (dari kitab Futuh Misr karya Ibn ‘Abdul Hakam).
Lebih dari empat belas abad kemudian, kita di Indonesia merindukan
ada pimpinan-pimpinan negeri, wakil-wakil rakyat yang mau mencontoh
generasi terbaik hasil didikan langsung oleh Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasalam seperti contoh dalam kisah tersebut diatas. Kita rindu
misalnya ada wakil kita di DPR yang bisa bilang begini, “Untuk apa kami
dibuatkan kantor yang megah, lha wong tempat kami seharusnya
bersama rakyat untuk mendengarkan suara mereka, menyelesaikan
masalahnya, dan berbagi rasa penderitaannya...”.
Mengapa hal yang kita rindukan tersebut tidak terjadi? di mana
mulainya terjadi penyimpangan dari contoh-contoh yang begitu agung, yang
kisah-kisahnya masih sering kita baca tetapi kok tidak membekas pada
perbuatan kita? Lagi-lagi saya mau menyalahkan penjajah – sebagai sumber
awal rusaknya sikap para priyayi hingga jaman ini. Penjajahan 4.5 abad
oleh Portugis dan Belanda-lah yang membuat kita terputus dalam sikap dan
budaya dari tauladan-tauladan kita, terputus dari uswatun hasanah kita
beserta generasi awal umat ini yang mendapatkan pendidikan langsung dari
beliau.
Di masyarakat pedagang – tidak dikenal gaji dan berbagai fasilitas
lain yang dibiayai oleh negara – hanya segelintir orang yang memang
waktunya diambil oleh negara sepenuhnya yang kemudian di gaji – lihat
cerita tentang Abu Bakar dalam tulisan sebelumnya. Ini berbeda dengan
gaji yang kemudian diberikan oleh Kumpeni kepada para priyayi, gaji dan
fasilitas menjadi semacam hak – yang bahkan bisa diwariskan !, terlepas
dari apakah yang diberi gaji tersebut melaksanakan tugas atau tidak,
terlepas dari apakah pewaris tersebut capable atau tidak. Perhatikan
kesamaannya hal ini dengan kaderisasi politik berbasis keturunan yang
sangat marak di negeri ini hingga kini!.
Walhasil, karena kita mencontoh yang keliru ini – hampir
setiap hari di media ada berita tentang gaji pemimpin dan wakil
rakyat, fasilitas-fasilitasnya, gedungnya, perjalanan keluar negerinya
dlsb. dlsb. yang semua terkait dengan ‘hak’ mereka atas uang rakyat.
Sedangkan buah dari pelaksanaan ‘kewajiban’ mereka tehadap rakyat ini
yang belum kita dengar atau rasakan.
Lantas bagaimana seharusnya ini bisa diluruskan? Mudah diteorikan
atau diwacanakan tetapi pelaksanaannya tentu tidak mudah. Bila kita bisa
kembali ke contoh-contoh dari uswatun hasanah kita dan generasi awal
umat ini, kemudian melatih sikap dan tindak kita menyerupai yang mereka
lakukan – mudah-mudahan kelak akan lahir kembali generasi pemimpin atau
wakil rakyat yang seperti Abu Bakar yang karena tidak meminta dan bahkan
membayangkan dapat gaji saja tidak – masih berangkat ke pasar sehari
setelah diangkat jadi khalifah, seperti ‘Umar yang tidak mau dibangunkan
rumah di awal tulisan ini – dan segudang contoh-contoh mulia lainnya.
Bagaimana melahirkan generasi semacam ini? ya lagi-lagi meniru
generasi terdahululah dalam segala aspek kehidupannya termasuk bagaimana
cara mencari nafkahnya.
Contoh kongkrit untuk hal ini adalah apa yang dilakukan oleh
komunitas business ‘Tangan Di Atas’, mereka memiliki visi yang mulia
yaitu menjadi pengusaha kaya yang gemar memberi kepada sesamanya.
Nampaknya ini diilhami oleh hadits: “Tangan yang di atas lebih
baik daripada tangan yang di bawah, tangan yang diatas adalah tangan
pemberi sementara tangan yang dibawah adalah tangan peminta-minta.” (HR. Bukhari – Muslim).
Saya sendiri berharap banyak dari anggota komunitas ini yang begitu
besar, saya pernah mengisi dalam salah satu acara mereka – dan nuansa
akan lahirnya generasi seperti Abu Bakar dan Umar tersebut diatas mulai
terasa – nuansa seperti ini yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya
ketika menjadi eksekutif perusahaan besar sekalipun.
Kita tidak pernah mendengar misalnya di Indonesia ada eksekutif di
kalangan swasta, pejabat pemerintah atau wakil rakyat – yang mengalah
untuk tidak menerima dahulu gajinya atau haknya yang lain , sebelum
seluruh anak buahnya atau rakyatnya menerima haknya terlebih dahulu.
Sebaliknya di lingkungan para (calon) pengusaha atau pedagang seperti
pada komunitas tersebut, tidak sulit misalnya menemukan anak muda
berusia awal 20-an yang setiap bulannya berjuang untuk bisa menggaji
karyawannya dahulu – sedangkan dianya sendiri paling akhir mengambil
haknya, kadang tidak dapat juga tidak mengapa asal semua karyawannya
sudah dapat gajian - dia sudah senang !.
Melihat tumbuhnya komunitas seperti ini - komunitas yang sangat ingin
untuk menaruh tangannya diatas – saya merasa optimis, masih ada harapan
di negeri ini untuk melahirkan generasi yang membangun budaya itsar –
mementingkan orang lain (saudaranya) lebih dari dirinya sendiri.
Semoga mereka bisa bersabar dan istiqamah di jalan-Nya, dan semoga
mereka menjadi seperti generasi yang dipuji langsung oleh Allah “...dan
mereka mengutamakan yang lain atas diri mereka sendiri, walaupun mereka
memerlukannya (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara
dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung...” (QS 59 : 9). Amin.
Oleh: Muhaimin Iqbal
Direktur Geraidinar dan kolumnis hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar